
Pada masa di mana realitas dapat diciptakan kembali dan kepercayaan bisa disalahgunakan dalam sekejap, wajah manusia kini tidak hanya sekadar gambaran diri. Ia telah berubah menjadi barang dagangan.Deepfake, teknologi berbasis kecerdasan buatan (AI) yang mampu meniru wajah, suara, dan ekspresi manusia dengan akurasi luar biasa, menjadi alat yang memiliki dua sisi. Di tangan para kreator,deepfakemenawarkan hiburan berbasis masa depan dan efisiensi dalam produksi. Namun, jika digunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, alat ini menjadi senjata paling halus untuk mencuri, menipu, dan merusak kredibilitas seseorang.
Tidak perlu lagi memiliki studio besar atau tim efek visual. Cukup dengan potongan video dan data digital yang tersedia bebas di media sosial, siapa pun dapat membuat versi digital Anda—tanpa izin, tanpa ampun. Inilah titik di mana istilah "wajah paten AI" mulai menyebar: tindakan memperdagangkan identitas digital seseorang, baik untuk tujuan hiburan maupun kejahatan. Identitas manusia kini bukan lagi milik pribadi. Ia sedang diperjualbelikan di pasar algoritma.
Memang, peluang ekonomi yang ada sangat luar biasa. Tokoh-tokoh sejarah dapat "dihidupkan" kembali untuk mempromosikan produk, selebritas virtual bisa berinteraksi tanpa perlu hadir secara langsung, bahkan influencer AI, entitas fiktif yang dibuat untuk menjual dan memengaruhi pengguna, telah mendominasi dunia digital. Bagi perusahaan, hal ini efisien dan tidak terbantahkan. Namun di balik segala kemajuan teknologi tersebut, bayangan ancaman semakin mengkhawatirkan.
Laporan DTrust (2025) mencatat, teknologi deepfakekini menjadi alat utama dalam kejahatan keuangan yang bernilai miliaran. Salah satu kasus yang mengejutkan terjadi di Hong Kong, ketika seorang karyawan tertipu untuk mentransfer dana sebesar US$25 juta (sekitar Rp392,97 miliar) kepada seseorang yang ia anggap sebagai atasan, padahal itu hanya rekayasa video berbasis AI. Di Prancis, wajah aktor Brad Pitt digunakan untuk menipu seorang wanita dalam modus penipuan cinta palsu, yang berujung pada kerugian sebesar US$800 ribu. Ini bukan sekadar pencurian uang. Ini merupakan pencurian identitas dalam bentuk paling keras dan terstruktur.
- Lima Perkiraan Tren Keamanan Siber 2025, Deepfake Akan Menjadi Populer
- Tren Kejahatan Digital Semakin Maju: Pelaku Pemecah Kode Menggunakan Teknologi AI dan Deepfake
- Wanita asal Korea Selatan tertipu oleh deepfake Elon Musk senilai Rp 813 juta
Pertanyaannya adalah, siapa pemilik asli dari wajah digital kita? Jika identitas kita dapat direplikasi, dijual, bahkan dimanipulasi, apakah kita masih memiliki otonomi atas diri sendiri? Dunia hukum kini menghadapi tantangan definisi. Identitas yang dahulu bersifat biologis dan pribadi kini telah berubah menjadi kumpulan data yang bisa dipindahkan, dikloning, dan diperdagangkan. Hak atas citra diri (hak atas gambar diri sendiriyang sebelumnya jelas dalam dunia nyata, kini mengambang di lautan digital.
Sayangnya, sistem hukum Indonesia belum mampu menghadapi situasi ini. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) hanya menyentuh permukaan, dengan mengatur pemalsuan data elektronik di Pasal 32 ayat (1), tetapi tidak mencakup konten sintetis yang dihasilkan oleh AI. UU Perlindungan Data Pribadi (UU No. 27/2022) juga hanya melindungi data yang dikumpulkan secara langsung, bukan gambar atau suara yang direkayasa oleh mesin.
UU Hak Cipta (UU No 28/2014) semakin tertinggal, karena hanya melindungi karya yang dihasilkan manusia, bukan hasil dari kerja AI. UU Paten (UU No 13/2016) juga belum mengatur wilayah identitas sebagai kekayaan intelektual. Bahkan dalam KUHP baru melalui Pasal 433 hanya mampu menangani pencemaran nama baik, tidak mampu menangani pencurian identitas yang saat ini terjadi dalam bentukdeepfake. Secara singkat, wajah kita dapat digunakan oleh siapa saja, tanpa kita memiliki dasar hukum yang kuat untuk menuntut.
Sementara itu, ancaman sosial dan politik yang muncul darideepfakeSudah menunggu di tikungan. Bayangkan video palsu seorang calon politik beredar menjelang pemilu, atau seorang CEO perusahaan terlihat "mengakui" kecurangan dalam video yang sepenuhnya palsu, pasar bisa turun bebas, reputasi rusak, dan masyarakat terjebak informasi palsu.
Di ranah privat, deepfakepornografi semakin sadis. Wajah perempuan, termasuk tokoh publik, ditempelkan ke tubuh tanpa persetujuan, lalu disebar sebagai "konten dewasa". Ini merupakan kekerasan digital yang menggoyang martabat dan keamanan perempuan secara sistematis. Seranganface swap secara global dilaporkan meningkat sebesar 295% hanya dalam semester kedua 2022 (iProov, t.th.). Ini merupakan gelombang tsunami yang akan semakin besar jika tidak segera ditangani.
Melihat kekacauan yang terjadi, beberapa negara mulai mengambil tindakan keras. Denmark, misalnya, mengajukan perubahan undang-undang Hak Cipta yang bersifat inovatif: memberikan hak eksklusif kepada warga atas wajah dan suara mereka sendiri. Menteri Kebudayaan Jakob Engel-Schmidt secara jelas menyatakan bahwa "setiap warga negara memiliki hak atas tubuh, suara, dan ciri wajah mereka sendiri." Rancangan undang-undang ini tidak hanya melindungi seniman, tetapi juga semua individu, dari penggunaan digital tanpa izin. Denmark bahkan mendorong pendekatan ini menjadi standar di tingkat Uni Eropa.
Indonesia perlu mengaktifkan alarm. Kita tidak bisa terus-menerus memperbaiki undang-undang lama untuk mengatasi isu-isu yang baru muncul. Kita memerlukan kerangka hukum yang baru, sebuah regulasi yang tidak hanya melindungi, tetapi juga memberikan kekuatan. Identitas digital merupakan bagian dari kedaulatan pribadi. Negara harus hadir bukan hanya sebagai pengawas, tetapi sebagai pelindung hak dasar warga negara dalam ruang digital.
Departemen Riset dan Teknologi (atau lembaga penggantinya) dapat memainkan peran penting dalam hal ini. Berdasarkan Peraturan Menteri Ristek Nomor 2 Tahun 2014, lembaga tersebut memiliki kewenangan untuk mengevaluasi aset tak berwujud yang dihasilkan dari penelitian dan inovasi. Kewenangan ini perlu diperluas agar mencakup identitas digital yang dihasilkan dari replikasi AI. Bahkan, saatnya dibentuk lembaga khusus yang mengatur etika dan tata kelola AI, bukan untuk menghambat inovasi, tetapi untuk memastikan bahwa inovasi tidak berubah menjadi eksploitasi.
Ini merupakan momen kritis. Jika kita terus diam, wajah kita akan menjadi milik siapa pun yang lebih dulu menyalinnya. Suara kita bisa dimanfaatkan untuk mendukung cerita yang tidak pernah kita sampaikan. Identitas bukan lagi tentang siapa diri kita, melainkan siapa yang lebih dulu mengunggahnya ke server.
Teknologi deepfaketelah membuka kotak Pandora. Kini saatnya negara dan masyarakat menentukan: apakah kita akan membiarkan wajah kita diatur oleh mesin, atau kita akan bangkit menjaga kekuasaan identitas di tengah badai algoritma. Ini bukan hanya perang teknologi. Ini adalah taruhan kehidupan tentang makna menjadi manusia di era digital.